Perjuangan Melawan Kanker Darah: Kisah Rasa Sakit, Doa, dan Harapan
Awal yang Tampak Baik-Baik Saja
Setelah lebaran, keadaan sempat terlihat membaik. Ia kembali menekuni hobinya, bercengkerama dengan teman, dan berusaha menjalani hari-hari seperti biasa. Dalam hati, ia berpikir semua sudah baik-baik saja. Namun, di balik itu, sel kanker bekerja diam-diam, merusak sel-sel sehat di dalam tubuhnya.
Saat Rasa Nyeri Tak Lagi Bisa Ditahan
Sebulan setelah diagnosa, gejala itu datang lagi. Bukan di dada, melainkan di kaki. Nyeri yang tajam membuatnya sulit berjalan. Baik saat diam maupun bergerak, sakit itu tetap ada—sulit digambarkan dengan kata-kata. Obat pereda nyeri dosis tinggi pun seolah tak lagi berdaya.
Perlahan, tubuhnya menyusut. Berat badan turun hingga 10 kilogram; tulang selangka menonjol, pipi kian tirus. Saat itulah kami benar-benar percaya: kanker itu nyata. Hasil pemeriksaan di tiga rumah sakit menunjukkan dugaan yang sama—kanker darah. Biopsi sumsum tulang direkomendasikan untuk memastikan jenis dan tingkat keganasannya.
Ketakutan yang Menghantui
Rujukan sudah di tangan, tetapi ia belum siap. Biopsi terdengar menakutkan—membayangkan jarum menembus tulang saja membuatnya gentar. Belum lagi bayangan tentang kemoterapi dengan segala efek sampingnya.
Di balik keberaniannya, ada tangis yang kadang tak ia tahan. Aku sering melihatnya menangis setelah sholat, menahan sakit yang tiba-tiba menyerang. Rasanya hatiku hancur—tak ada yang bisa kulakukan selain membisikkan doa untuk kesembuhannya.
Berusaha Tetap Aktif di Tengah Sakit
Meski dirawat di rumah, ia tak menyerah. Hanya ketika nyeri hebat atau tubuh begitu lemas, ia memilih beristirahat. Selebihnya, ia tetap berusaha aktif. Ia memang anak yang gemar berolahraga; berdiam diri membuatnya jenuh.
Karena ketidaktahuan, kami membiarkannya beraktivitas ringan yang ternyata memicu kambuhnya nyeri. Sekadar berjalan beberapa meter atau berdiri lama menyaksikan pertandingan futsal bisa membuat nyeri di kaki kembali menyerang. Dalam sebulan, dua kali serangan hebat menghantam tulang belakangnya—hingga ia tak bisa berjalan untuk beberapa waktu.
Gejala Baru yang Muncul
Tepat dua bulan setelah diagnosa, gejala lain datang. Kelenjar getah bening di paha membengkak kecil namun banyak. Gusi berdarah—awalnya sesekali, lalu makin sering. Bahkan saat tidur, darah dari gusi mengganggu istirahatnya.
Pada titik itu, aku memutuskan: sudah saatnya ke rumah sakit.
Tangis dan Doa Mengiringi
Hari itu, kami menuju IGD RSK Dharmais dengan hati yang berat. Tangis menyertai langkah kami. Dalam tiap pelukan—nenek, bibi, paman—terdengar doa-doa yang tak putus. Ia menangis dalam setiap dekapan, memohon agar semua berjalan baik dan kami pulang dengan kabar lebih baik.
“Perjalanan itu bukan sekadar menuju rumah sakit—itu adalah perjalanan penuh doa, air mata, dan harapan.”
Pesan Kehidupan
Kisah ini mengingatkan bahwa kesehatan adalah anugerah terbesar. Rasa sakit, ketakutan, dan perjuangan melawan penyakit mengajarkan arti sabar, tabah, serta ikhlas. Di balik penderitaan, doa keluarga menjadi kekuatan yang tak ternilai.
Catatan: Kisah ini bersifat pengalaman pribadi. Untuk keputusan medis, selalu konsultasikan dengan tenaga kesehatan profesional.
Ini adalah part 2, bila mau mengetahui bagaimana awal mula anakku terkena atau di diagnosa kanker darah ada disini
Perjuangan masih berlanjut, terimakasih sudah membaca kisah ini. Semoga bermanfaat
Tanya Jawab Seputar Kisah & Perawatan
Apakah cerita ini bisa menjadi rujukan medis?
Tidak. Ini adalah pengalaman pribadi untuk memberi harapan dan perspektif. Untuk tindakan medis, konsultasikan dengan dokter.
Mengapa biopsi sumsum tulang direkomendasikan?
Biasanya untuk memastikan jenis dan tingkat keganasan kanker darah, sehingga dokter dapat menyusun rencana terapi yang tepat.
Apakah penderita kanker boleh berolahraga?
Aktivitas fisik ringan kadang diperbolehkan sesuai kondisi pasien dan saran dokter. Kelelahan berlebih bisa memicu gejala, jadi perlu evaluasi medis.
Posting Komentar untuk "Perjuangan Melawan Kanker Darah: Kisah Rasa Sakit, Doa, dan Harapan "